SMILE...^_^

Selasa, 02 Agustus 2011

Berpikir Sebelum Bertindak





"Acting without thinking is shooting without aiming."
-Chuck Gallozzi-

"Menyesal itu datangnya belakangan."
-Ibunda saya Chairunnisa'-

"Puncak dari pengetahuan dan keahlian kita adalah ketika kita melakukan sesuatu dengan tidak tahu bahwa kita tahu. Untuk begitu, kita perlu latihan dulu."
-Ikhwan Sopa-

"Kita perlu tegas sebelum bergegas."
-Ikhwan Sopa

Dear all, siang tadi saya sempat mensharing tulisan ini:

http://blog.qacomm.com/2011/06/anda-pasti-pernah-mengalami-ini-lesprit.html

Pernahkah Anda pergi ke mall dengan tujuan membeli kaos dan pulang membawa panci?
Pernahkah Anda menyesali sesuatu yang Anda katakan beberapa waktu setelah ia terlontar?
Pernahkah Anda membeli alat olah raga dan kemudian malah tak pernah Anda gunakan?

Contoh-contoh di atas dan kejadian yang sejenis dapat terjadi ketika kita memutuskan sesuatu dalam rangka menenteramkan sebentuk emosi yang tiba-tiba muncul akibat terpicu oleh stimulus dari luar diri.

Dari sesuatu yang kita lihat, dengar, baca, sentuh, dan sebagainya yang memicu stimulus lanjutan di dalam diri kita, yang menciptakan respon dalam bentuk-bentuk emosi yang kurang nyaman dan mendorong kita untuk melakukan sebuah tindakan.

Dan tindakan yang akhirnya kita lakukan itu, sangat bisa jadi bukanlah tindakan yang terbaikuntuk jangka panjang melainkan hanya terbaik pada saat itu. Atau lebih parah lagi, tindakan itu malah bukan tindakan terbaik bagi kita, atau yang paling parah malah menjadi tindakanterburuk bagi diri kita sendiri.

Dari uraian di atas, kita memahami bahwa titik kritis dari kejadian semacam ini adalah munculnya emosi tidak nyaman (positif atau negatif) yang akhirnya mengendalikan pikiran dan tindakan.

"Pikiran menciptakan perasaan, perasaan mengarahkan pikiran."

Bagaimana struktur dari kejadian semacam ini?

Pertama, sebuah kejadian memasuki kehidupan kita.

Kedua, kejadian itu memicu lintasan pikiran dalam bentuk kalimat dan kata-kata yang berseliweran di kepala kita.

Ketiga, pikiran itu memicu emosi, dan kita merasakan bahwa emosi itu tidak nyaman dan menuntut pemuasan. Uniknya, emosi itu tidak semata-mata muncul karena kejadian yang terjadi saat itu, melainkan juga muncul karena disadari atau tidak disadari telah memicu ingatan kita tentang kejadian di masa lalu atau di masa kecil yang strukturnya kurang lebih sama.

Keempat, kita memutuskan pilihan.

Kelima, kita melakukan tindakan.

Tindakan itulah yang kita sesali kemudian.

Titik kritis dari kejadian seperti contoh di atas justru ada pada pilihan tentang tindakan dan bukan pada tindakan itu sendiri.

Tindakan adalah sesuatu yang menghubungkan diri kita dengan dunia luar. Sebagai manusia yang normal, kita pasti menginginkan umpan balik dari dunia luar yang menenteramkan dan membahagiakan diri kita. Ketika umpan balik dari dunia luar itu bekerja sebaliknya, kita merasa tidak tenteram dan mungkin tidak berbahagia.

Saat bertindak, kekuatan kontrol kita sebenarnya sedang melemah sebab energi kita cenderung sedang kita kerahkan sepenuhnya untuk bertindak.

Pilihan adalah sesuatu yang menghubungkan diri kita dengan diri kita sendiri. Pilihan adalah sepenuhnya fenomena internal.

Saat dihadapkan pada pilihan, kita sebenarnya sedang berada di puncak kekuatan kontrol kita jika secara sadar kita mengerahkan seluruh energi kita untuk memilih.

Secara umum, di titik itu kita ditawari dengan dua pilihan, yaitu pilihan yang memuaskan diri kita dalam jangka pendek atau saat itu juga, atau yang menguntungkan kita di masa depan dan dalam jangka panjang.

Bagaimana kita melatih respon yang lebih baik saat berhadapan dengan pilihan? Dengan latihan W.A.I.T atau What Am I Thinking.

Kita butuh memberi jeda sejenak kepada diri kita, saat kita menyadari munculnya emosi yang kurang nyaman. Emosi adalah sinyal di pojok layar yang memberi tanda tentang masuknya "email informasi" ke dalam diri kita. Kita perlu membaca "email" itu terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bertindak.

Emosi kita bukanlah musuh kita, namun demikian kita perlu mendidiknya agar menjadi bagian dari pasukan diri yang berdaya dan memberdayakan.

Di titik "ada sms masuk" itu, inilah yang perlu kita pikirkan.

1. Nyaris pasti, "email" atau "sms" yang masuk itu adalah perintah dari diri kita yang berbunyi, "bacalah!".

2. Lalu ketika "email" atau "sms" itu kita baca, isinya nyaris pasti adalah perintah lanjutan dari diri kita yang berbunyi, "bertanyalah!".

3. Tentu saja, kita perlu menindaklanjuti perintah itu dengan mengajukan pertanyaan.

Kita pun bertanya, "Apa yang saya putuskan untuk menindaklanjuti perasaan ini?"

"Antara stimulus dan respon ada jeda. Di dalam jeda itu tumbuhlah kedewasaan,kesadaran, dan kebjaksanaan."

Ciri dari orang yang makin dewasa, makin sadar, dan makin bijaksana, adalah kesediaannya untuk bertahan lebih lama di titik jeda ini. Bertahan lebih lama dalam rangka melakukan berbagai renungan dan refleksi. Dan di antara yang terpenting dilakukan di titik jeda ini, adalah terus bertanya semakin dalam. Pertanyaan terdalam adalah pertanyaan yang paling mendasar. Apa pertanyaan itu?

Pertanyaan yang paling tepat yang dapat kita ajukan, adalah pertanyaan yang mempertanyakan akurasi dari tindakan yang akan kita lakukan setelah memilih.

Jika kita terjebak pada "bertindak tanpa berpikir" sebenarnya kita bukan tidak berpikir sama sekali, karena hal itu sama sekali tidak mungkin terjadi. Bertindak tanpa berpikir adalah bertindak dengan hanya berpikir sedikit, yaitu hanya menjawap pertanyaan tentang apa yang perlu diputuskan dan ditindaklanjuti, dan kemudian langsung mengambil tindakan. Kita sering mengumpamakan ini dengan "sumbu pendek".

Bertindak dengan berpikir artinya berpikir secara berlapis hingga ke tingkat pemikiran yang mendasar. Untuk menuju ke sana, kita perlu bertanya juga.

Sebagai makhluk intelektual - disadari atau tidak disadari - kita selalu bertindak berdasarkan alasan (intention) yang selalu kita butuhkan dalam rangka menjaga agar pikiran kita tetap sehat dan tetap kuat, yaitu  agar segala sesuatu menjadi  masuk akal alias make sensebagi kita. Alasan itu adalah motivasi atau motif kita untuk bertindak.

4. Maka, pertanyaan yang perlu kita ajukan berikutnya adalah,

Apakah saya akan bertindak dalam rangka memenuhi:

Keinginan?
 Sebab saya ingin memuaskan emosi yang tidak nyaman ini, yang penting tidak seperti ini rasanya. Saya ingin mendapatkannya. Mereka harus ingin memberikannya. Atau,

Keperluan?
Sebab saya perlu mengklarifikasi dan memvalidasi emosi tidak nyaman ini dari dunia luar dengan mendapatkan sesuatu yang memberi nilai tambah bagi kehidupan saya, atau mendapatkan sinyal tentang pengertian dan pemahaman orang lain tentang apa yang saya rasakan. Atau,

Kebutuhan?
Sebab semua ini adalah tentang hidup dan mati saya, atau tentang eksistensi saya, atau tentang baik dan buruknya kehidupan saya. Saya harus mendapatkan itu. Mereka benar-benar harus tahu. Tanpa ini hidup dan eksistensi saya terancam.

Setelah menjawab pertanyaan itu, insya Allah tindakan kita cenderung ekologis danmenguntungkan kehidupan kita sendiri dan kehidupan orang lain yang terlibatkan oleh tindakan kita.

"Idealisme perasaan adalah tentang kehalusannya. Melatih kehalusan perasaan adalah dengan membiasakan rasanya. Idealisme pikiran adalah tentang ketajamannya. Melatih ketajaman pikiran adalah dengan mengasah kemampuannya dalam memilih dan memilah."
-Kata Pengantar, "Manajemen Pikiran Dan Perasaan"-

Sedikit memanjangkan waktu jeda dengan merasakan emosi dan menstimulasi pikiran, akan menguntungkan diri kita. Ketika kita sudah makin terampil tentang hal ini, kita akan menjadi pribadi intuitif yang positif.

Note: Tentang "kecerdasan motif" di atas, dapat dibaca lebih lanjut dalam buku saya "Manajemen Pikiran Dan Perasaan."

Semoga bermanfaat.

Ikhwan Sopa
Master Trainer E.D.A.N.
Founder, Penulis
"Manajemen Pikiran Dan Perasaan"
"Manajemen Pertanyaan"




http://milis-bicara.blogspot.com/2011/06/berpikir-sebelum-bertindak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar