SMILE...^_^

Minggu, 06 Maret 2011

PENYAPU JALANAN

Siang itu teramat terik. Cahaya matahari garang serasa membakar tenggorokan.
Untuk melepas dahaga, saya duduk di warung pinggir jalan sambil menghirup segelas air tebu dingin.

Dari jauh saya melihat seorang lelaki tua berpakaian serba orange berdiri di bawah pohon. Berkali-kali ia mengelap keringat di dahinya dengan ujung baju, sambil tetap berdiri, lalu sebentar kemudian meneruskan pekerjaaannya. Berkawan debu, menyapu geraian dedaun kering yang berserak di jalan, sampah-sampah plastik, kertas-kertas, dan botol minuman. Debu-debu tebal terus berterbangan. Debu yang tak bakal nyaman untuk lobang hidung siapa pun. Termasuk, tentu saja untuk lelaki itu. Lelaki itu, yang tengah asyik menikmati pekerjaannya, tiba-tiba mengingatkan saya pada cerita seorang teman yang beberapa saat lalu berkunjung kembali ke Indonesia. Berikut kisah teman, yang bagi saya sangat sulit untuk dilupakan.

Kau tahu, aku tak pernah membayangkan bagaimana hidup dengan seorang penyapu jalan. Barangkali setiap orang kalau bisa, tidak akan sudi menjadi seorang penyapu jalanan. Sebuah pekerjaan yang kuanggap kotor dan rendahan. Awalnya aku memilih menikah dengan lelaki asing demi mengangkat martabat keluarga. Demi perbaikan ekonomi yang lebih baik, begitulah yang aku niatkan dengan sungguh-sungguh. Maka aku menjalani hidup sebagaimana mestinya. Tanggung jawab sebagai seorang istri aku laksanakan tanpa banyak mengeluh. Seperti umumnya perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan keras, tak ada kata mengeluh dari setiap keputusan yang telah ditetapkan. Begitulah, akhirnya kami berketetapan menikah, lalu pergi ke negaranya dan berharap kebahagiaan,tanpa perlu menyelidiki lebih lanjut.

Awalnya kami berkomunikasi  setengah dengan bahasa tubuh, sebab pada saat itu aku belum pandai berbahasa suami ku. Apa pekerjaan suamiku, aku tak tahu pasti. Bukan karena dia tidak bercerita padaku, melainkan aku tak paham apa yang dia ceritakan saat itu. Setiap hari dia berpakaian rapi, setelan jas dengan dasi. Tak lupa sepatu yang meng kilap. Pada keluargaku di Indonesia, aku ceritakan dengan pasti bahwa suamiku orang kantoran. Aku sangat bangga menceriterakannya.

Setelah beberapa bulan di negaranya, aku mulai belajar berbahasa sedikit demi sedikit. Sungguh aku berusaha keras untuk itu. Jika ada kesempatan luang, aku selalu gunakan untuk berjalan-jalan, melihat-lihat suasana di sekitar tempat tinggalku. Tentu tak berani jauh-jauh. Sampai kemudian aku mempunyai seorang sahabat, yang kebetulan juga berasal dari Indonesia dan menikah dengan orang yang di negeri yang sama setahun sebelum aku menikah. Bersama sahabatku itulah, aku berani menjelajahi jalan-jalan  sedikit lebih jauh. Aku sangat kagum dengan pemandangan jalan kota yang bersih. Temanku selalu memuji, “Kita sering melupakan jasa seorang tukang sapu yang rela membiarkan tubuh mereka kotor demi kebersihan orang banyak.” Saat itu kebetulan ada seorang penyapu jalanan yang sedang asyik menyapu jalan. Wajahnya tertunduk. Ia tampak serius. Tapi aku merasa mengenal postur tubuh itu. Aku perhatikan baik-baik. Wajahnya sedikit mirip wajah suamiku. Aku pikir itu kebetulan saja. Tuhan pasti menciptakan wajah yang sama di dunia.

Beberapa hari terlewatkan begitu saja. Entah kenapa di suatu saat yang lain, aku ingin melewati jalan itu lagi, jalan di mana aku menyaksikan lelaki yang berwajah sama dengan suamiku, sedang menyapu jalanan. Dugaanku benar. Aku menemukan lelaki itu kembali. Aku mencoba mempelajarinya lekuk tubuhnya dari seberang jalan. Terasa tak asing. Lelaki itu mengelap keringat. Ia sesekali menengadahkan kepala menatap langit, menarik napas panjang, dan membuangnya kencang-kencang. Tampak sekali ia kelelahan. Risau lantaran tak begitu percaya terhadap apa yang dilihat, aku buru-buru meninggalkan lelaki itu, dan kembali ke rumah.

Menjelang malam suamiku muncul di depan rumah. Memamerkan senyum ceria seperti biasanya, dan menunjukkan padaku sebungkus makanan yang amat kusuka. Aku sering terharu dengan kebaikan dan perhatiannya padaku. Kupikir aku mulai jatuh cinta padanya setelah beberapa bulan aku menikah dengannya begitu saja. Memikirkan kejadian siang, aku tidak bisa tidur sepanjang malam. Sementara suamiku sudah mendengkur dengan keras, aku perhatikan kembali wajahnya baik-baik. Wajah yang sama dengan tukang sapu yang dua kali kutemui di jalan yang sama. Ah, tidak mungkin. Suamiku orang kantoran. Aku sulit mendamaikan hati dan pikiran.

Esok paginya, diam-diam aku membuntuti suamiku ke kantornya. Ia melangkah keluar rumah dengan tegap, lengkap dengan jas dan dasi, dan tentu saja sepatu yang mengilat. Hatiku bergemuruh, mengharap dalam doa semoga apa yang kulihat kemarin itu keliru. Suamiku menghentikan bus dan aku merelakan diri untuk menyewa taksi. Benar, suamiku memasuki sebuah gedung perkantoran. Agak plong hatiku saat itu. Aku turun dan duduk di kantin seberang kantor untuk menikmati kelegaan yang baru saja kudapat, sambil menghirup segelas air putih. Tapi tak lama kemudian aku terperanjat. Seorang lelaki berpakaian seragam lengkap dengan topi dan sepatu bot keluar dari kantor itu. Aku yang belum bisa mengeja tulisan huruf-huruf  di muka kantor itu, hanya mampu melongo. Tangan lelaki itu menggengam sapu. Astaga, dia suamiku! Sungguh-sungguh suamiku. Aku ingin menjerit saat itu. Sulit rasanya takdir itu kuterima. Tapi sebisa mungkin aku menahan diri. Sekuat tenaga aku menenangkan diri. Setelah lelaki itu menghilang, aku kembali ke rumah dengan ribuan pikiran kacau.

Aku terlanjur membanggakan jas, dasi, dan sepatu suamiku yang selalu mengilat. Aku terlanjur membanggakan diri dalam surat-suratku ke kampung halaman bahwa suamiku bekerja di sebuah kantor besar . Aku yang kini kebingungan bagaimana menceritakan pada orang tuaku bahwa putri yang mereka banggakan, yang konon menikah dengan orang asing kaya, ternyata hanya menikahi seorang tukang sapu jalanan. Aku juga kebingungan apakah aku harus mempertanyakan itu pada suamiku, atau diam saja menunggu sampai dia yang bercerita. Sungguh aku serba tak tahu di saat itu.

“Saat kau memutuskan menikah dengan seseorang, maka terimalah dengan lapang dada kebaikan dan keburukan pasangan hidupmu. Di dapur kau berdua boleh hanya memakan nasi dan garam putih, tapi di luar sana orang-orang tak perlu tahu,” itu pesan nenekku yang kuanggap kolot saat aku akan berangkat. Tapi pepatah itu kini kembali terngiang, dan memaksa untuk direnungkan. Mengingat hal itu, ada sedikit ketenangan yang menyelimuti kegalauanku. Seperti mendapat pencerahan, aku berniat tidak menyinggung perasaan suamiku yang baik. Aku putuskan tidak bertanya.

Aku juga tak mau orang tuaku yang jauh di sana mencemaskan hidupku. Maka, aku putuskan tidak akan bercerita masalah kantor lagi pada mereka. Sejak saat itu aku belajar, belajar tidak terlalu membanggakan sesuatu yang hanya tampak dari luar saja. Dan aku pahami dengan baik, jika suamiku bisa membiarkan tubuhnya ditempeli debu jalanan dan kotoran demi kenyamanan orang banyak, kenapa aku tak bisa menyapu bersih debu di hatiku. Toh, keduanya sama mulia.

***
Begitulah saya melewati siang itu dengan sebuah kenangan yang diceritakan oleh temanku. Saya menghirup tetes terakhir air tebu  di meja. Menatap bangga pada lelaki dengan seragam oranye yang tengah berjuang di tengah kepulan debu. Di tengah badai debu kotor yang tentu saja semua tahu, tak akan nyaman bagi hidung siapa pun termasuk lelaki itu. Ribuan jalan-jalan di kota ini selalu membutuhkan sapu. Ratusan ribu kendaraan yang melintas di atasnya, barangkali tak pernah sempat bertanya kenapa daun-daun, plastik-plastik, serta sampah-sampah makanan yang dibuang dari jendela mobil, selalu lenyap ketika hari berganti. Mengingat hal itu, rasanya saya perlu sesekali untuk menghampirinya, barangkali hanya untuk sekadar mengucapkan terima kasih yang tak terhingga


note:
copas dr fb,, tp lupa namanya.. maaf ya..
klo ad yg mrasa ini crita anda, maaf nia copas ya
smoga amal baik anda dbalas oleh Allah ... amiiin ya Rabb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar