SMILE...^_^

Sabtu, 08 Januari 2011

** Jangan Ada Dusta **

oleh: Dewi Mar’atusshalihah

“Sofi, carikan aku calon istri…”
Waaaaa…….. Gimana ini…, nyari kemana? Supermarket, Tanah Abang, Glodok, atau Toko Kelontong? Emang Gampang kayak nyari kacang rebus, gitu? Enak aja… Nyomblangin… Mau ngasih berapa sih prangkonya? he he, matre… Tapi bagaimanapun, aku kan baik hati…cieeee…….

***
Ku obrak-abrik memori otakku. Ku buka album kenanganku, mulai dari yang di TK hingga kini di kampusku. Ku bolak-balik buku telponku, kularik dari A sampai Z. Yang mana yang cocok dengan Fahrur, rekan Rohisku. Ups…, Fatima Khairunnisa. Teman SMAku di Yogya dulu.

Gadis manis berlesung pipit, dengan kacamata yang menambah cantik wajah ovalnya. Yang memperkenalkanku untuk berjilbab, membawaku masuk Rohis, mengajariku menjadi muslimah sejati. Temanku yang seindah namanya. Puteri kesayangan Nabi, yang memang khairunnisa, sebaik-baik perempuan. Inilah sebaik-baik pilihan, untuk Fahrur.

***

Liburan mid-semester, aku pulang ke Yogya sebentar, yang juga untuk melanjutkan misiku, mencarikan istri.

***
Parangtritis, pantai di sebelah selatan Yogyakarta. Karang yang menjulang, ombak yang saling berkejaran di bawah birunya langit, yang katanya menjadi persemayaman Nyi Roro Kidul, Ratu cantik Pantai Selatan, wallahu a’lam.
Namun, di tempat inilah kami bernostalgia, mengenang masa-masa di SMA, bersama sobatku, calon mangsaku.
Setelah lelah berjalan, berlari, melompat dan melepaskan jerit ketika gulungan ombak menghampiri kaki. Kami duduk bersisian berkiblatkan laut, diam membisu membiarkan matahari tenggelam di lautan lepas, dalam gulungan buih putih di permukaan biru, berkejaran dan terantuk pada sebongkah cadas, tak bosan-bosannya menyapa dan membelai cadas sambil mengulang-ulang nyayiannya dalam irama yang datar.

Hanya jeritan camar yang menjadi pengiring irama abadi di pinggir pantai itu. Kubayangkan, kehidupan manusia itu seperti benturan buih dan cadas.

Cadas telah mengukuhkan kekuatannya ketika dia terus menerus dibenturkan oleh besar kecilnya riak buih yang menghantam. Tanpa jeda.

Manusia yang baik adalah manusia yang kuat seperti cadas. Jangan yakini kekuatan manusia sebelum dibenturkan oleh realitas. Cadas telah tawakal dan pasrah diri untuk menerima gempuran-gempuran buih kenyataan yang didorong oleh badai takdir. Gempuran itu tak boleh melemahkan, meluluhkan ataupun menghancurkan.

Jadilah seperti cadas, gempuran menjadikannya lebih kuat dari sebelumnya.

“Kenapa nggak dengan kamu aja Sofi?”, tanyanya ketika dengan perlahan ku tawarkan niatku untuk mencarikan istri rekan dakwahku.

Ku hanya tersenyum, dengan datar. Dan kembali kuyakinkan Nisa, bahwa ia adalah makhluk-Nya, yang dikirimkan oleh-Nya, untuk menemani dan menguatkan langkah dakwah sobatku.

Rembang mulai turun, setengah bola api dari semesta telah tenggelam di lautan barat. Lapis awan oranye diam bermandi cahaya matahari yang makin lama makin lemah sinarnya.

Sementara ratusan burung berkumpul mengitari awan itu, seakan salam penghormatan terakhir pada hari yang sebentar lagi akan ditinggalkan.

Waktunya pulang, dengan membawa seribu perasaan lega di hati, atas persetujuan sobatku.

***

Kulangkahkan kakiku memasuki pelataran rumah yang sudah tak asing lagi. tempat kami berdua bercanda, bercengkerama sepulang sekolah dulu.

Pohon jambu itu masih ada.
Lima tahun yang lalu, aku nangkring diatas sana, memilih jambu yang telah ranum memerah. Lalu tiba-tiba kuteriak dan terjatuh, karna seluruh tubuhku telah dipenuhi semut Rangrang. Di teras itu, kami makan rujak bersama, hingga merah semua wajah kami, penuh keringat, kepedasan.
Di teras itu, kini bersanding pemilik rumah itu, pemilik nama indah itu, Fatimah Khairunnisa, bersama shobatku.

***

“Ono opo tho ‘Ndhuk, kok pulang dengan wajah mbesengut begitu…?”

Ku peluk Ibuku yang semakin menua, dengan rambut ditumbuhi uban satu-dua. Ingin ku luapkan perasaanku, namun ku tak tega menambahi beban yang telah menggelayuti wajah keriputnya.

“Yo wis, cepat mandi, lalu lihat aja di dapur, Ibu sudah masak sayur kesukaanmu…”

Ibu, ibu, Ini yang membuatku kangen untuk pulang terus.

Nasi liwet, Pindang goreng, Bening Jowo, dan tak bisa ketinggalan sambel terasi.
Wah, kalau sudah begini, Brad Pitt lewat pun aku tak peduli.

***

Malam ini, begitu nikmatnya ku berasyik masyuk menyapa-Mu
Di sajadah panjang ini, ku limpahkan semua derai tangisku
Tuhan, aku bukan Khadijah, Sang ummahatul mukminin, dengan sejuta talenta, yang telah mengajukan diri mendampingi hidup Sang Rasul mulia.

Aku bukan Srikandi, sang Wanodya ayu tama ngambar arumming kusuma, yang mempunyai mata nDamar kanginan, hidung mBawang tunggal, bulu mata nanggal sepisan, dan pipi yang nDuren sejuing. Sehingga berani ngunggah-unggahi Arjuna.

Aku hanya gadis yang belajar dari seorang ibu yang berhati rembulan bersemangat mentari, dan seorang ayah yang segarang singa selembut sutra.

Ku tak layak Tuhan.

Ku tatap dinding kamarku, terpampang besar sekali gambaran rencana masa depanku, yang tersusun rapi dalam “Peta Hidup”, seperti yang diajarkan Bunda Marwah.

Kususuri kotak demi kotak umurku. Mataku terpaku pada kotak ke 26, di tahun 2007. Ada dua point tertulis disana, S3, dan menikah. Kutulis sedikit footnote kecil disana “F”, hanya itu.

Tuhan, maafkan hamba telah lancang. Bukan kuberniat mendahului qadha-Mu. Ini hanya harapanku, rencanaku, inginku. Namun, keputusan-Mu, itu yang pasti.

Ku ambil Tip Ex. Tak boleh kutulis inisial apapun di kotak peta hidupku.

Tuhan, jangan biarkan ku menangisi perkara yang telah Kau jamin dan Kau tetapkan. Namun permudahkan aku menangisi dosa dan kerinduanku pada-Mu. Nisa, hadiah terindahku untuknya.

***

Petang menjelang, tasyakuran pernikahanpun usai.
Setelah tamu-tamu pulang, meninggalkan lelah sekaligus gembira kedua mempelai dan keluarga, Fahrur segera menuju kamarnya, menyendiri, tergugu di atas sajadah. Lirih ia bergumam; Sofi, semoga ini hadiah terindahmu. Semoga ku bisa menepis perasaan ini.

Ku takut memetikmu, ku tak layak disisimu. Cukup bagiku hadiahmu ini. Ku kan jaga, istriku, pilihanmu, amanahmu.

Ku teringat akan puisi yang ku dapatkan dari temanmu, tentang surat cinta, yang menyentakkan kesadaranku, mematahkan nyaliku untuk menyuntingmu.

(ehhh…puisi siapa ya ini….)

**


Wanita suci
Bagiku kau bukanlah bunga
Tak mampu aku samakan kau dengan bunga-bunga
Terindah dan terharum sekalipun
Bagiku manusia adalah mahluk terindah
Tersempurna dan tertinggi
Bagiku dirimu salah satu manusia terindah
Tersempurna dan tertinggi
Karenanya kau tak membutuhkan persamaan

Wanita Suci
Dengan menatapmu, telah membuatku terus mengingatmu
Dan memenuhi kepalaku dengan inginkanmu
Berimbas pada tersusunnya gambarmu dalam tiap dinding khayalku
Membuatku inginkan dirimu sepenuh hati, seluruh jiwa sesemangat mentari
Dirimu terlalu suci untuk hadir dalam khayalku
Yang penuh dengan lumpur…

Wanita suci
Menghabiskan waktu berdua denganmu bagai mimpi tak berujung
Menyentuhmu merupakan ingin diri, berkelebat selalu
Meski ujung penutupmupun tak pernah berani kusentuh
Jangan pernah kalah dengan mimpi dan inginku…
Karena aku biasa memakaikan topeng keindahan pada wajah burukku
Meniru pakaian para rahib, kiai dan ulama
Meski hatiku lebih kotor dari kubangan lumpur

Wanita suci
Beri sepenuh diri pada dia sang lelaki suci
Yang dengan sepenuh diri membawamu pada Ilahi
Untuknya dirimu ada
Tunggu sang lelaki suci menjemputmu
Atau kejar sang lelaki suci itu
Dialah hakmu, seperti dicontohkan ibunda Khadijah
Jangan ragu…, jangan malu…

Wanita suci
Bariskan harapanmu pada istikharah penuh ikhlas
Relakan Tuhan pilihkan lelaki suci bagimu
Mungkin sekarang atau nanti…
Bahkan mungkin tak ada, sampai kau mati
Karena kau terlalu suci,
untuk semua lelaki,
dalam permainan ini
Karena lelaki suci itu menantimu di istana kekal
Yang kau bangun dengan kekhusu’an ibadah

Wanita suci
Pilihan Tuhan tak selalu seindah inginmu
Tapi itulah pilihan-Nya
Tak ada yang lebih baik dari pilihan-Nya
Sang Kekasih Tertinggi
Tempat kita memberi semua cinta
Dan menerima cinta yang tak terhingga
Dalam tiap detik hidup kita
(untuk yg ada disana, Dia-lah Maha Pembuat Skenario Terbaik, biarlah Dia yang menentukan)


***

telah diterbitkan di majalah KUBAH, Agustus 2005



Tidak ada komentar:

Posting Komentar