SMILE...^_^

Senin, 18 April 2011

Stop Durhaka Pada anak

Hari ini 20 November, menurut kalender Unicef adalah peringatan "Hari Anak-anak Sedunia" (Universal Children Day), walaupun di banyak negara hari anak dirayakan tanggal 1 Juni, dan di negara kita bahkan Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Tidak masalah kapan diperingati yang penting bahwa kita tidak lupa hak-hak anak, baik anak kita atau anak siapapun, dan menghormati mereka kapan saja dan dimana saja.

Bertepatan dengan peringatan Hari Anak-anak Sedunia ini, saya menyerukan sebuah propaganda kampanye yang berjudul: "Stop Durhaka Pada Anak". Kalau kemarin pada acara kampanye stop kekerasan pada anak, yang dicanangkan Ibu mentri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia F Hatta, tidak ada bannernya, propaganda yang saya ajak ini disertai banner yang bisa dipasang diblog dan situs masing-masing, banner bisa didapatkan di akhir postingan ini atau di sidebar blog ini.

Dan dengan ini saya tulis sebuah artikel sekitar kekerasan dan kedzaliman yang sering menimpa anak-anak.

Stop Durhaka Pada Anak
Oleh Noor.A
Kata durhaka biasanya identik dengan perilaku negatif anak terhadap orang yang lebih tua, baik perilaku itu dengan lisan (bicara keras, membangkang, mengumpat, memaki dan lainnya), atau bahkan dengan perbuatan fisik seperti memukul dan lainnya.
Sedangkan perbuatan yang sama, bila dilakukan oleh orang yang lebih dewasa dan besar kepada anak-anak yang lebih kecil, maka jarang kita dengar penggunaan kata durhaka pada situasi ini.
Padahal inti perbuatannya sama, yaitu perilaku negatif.

Materi-materi pendidikan yang kita terima, baik itu pelajaran akhlaq di sekolah, ceramah-ceramah keagamaan, khutbah jum'at bahkan dongeng dan lainnya, juga mendukung penggunaan kata durhaka hanya untuk perilaku negatif anak kepada orang dewasa terutama orang tua. Maka sejak kecil kita sudah sering mendengar dalil tentang ancaman neraka bagi anak yang durhaka pada orang tua, dongeng Malin Kundang dan lainnya.

Benarkah hanya anak-anak yang bisa berbuat durhaka, benarkah doktrin agama dan kultur masyarakat hanya menghukumi anak-anak yang durhaka sedangkan perilaku negatif orang dewasa pada anak tidak dihukum?
Atau hanyak karena ego orang dewasa saja, sehingga doktrin-doktrin yang menghukumi perbuatan negatif orang dewasa pada anak-anak tidak diajarkan, dan tidak dijadikan tema ceramah atau jadi sebuah dongeng?
Karena biasanya orang dewasalah yang mengajar, berceramah dan mendongeng dan anak-anak yang menjadi objeknya, sehingga kesempatan baginya menggunakan posisinya yang diatas untuk menyoroti perilaku negatif yang ada dibawahnya?

Bukankah agama juga mengancam perilaku negatif orang dewasa? Bahkan hanya karena tidak memberi makan seekor kucing dan menyebabkannya mati bisa memasukkan seseorang ke dalam neraka? Tentunya hal itu bila dilakukan pada anak manusia hukumannya lebih berat?

Salah Faham Doktrin Agama
Rasulullah Muhammad bersabda: "…dan pukullah dia bila tidak mau sholat (meninggalkannya) ketika sudah berumur 10 tahun…".
Sabda Rasulullah diatas adalah diantara sabda-sabda beliau yang sering dijadikan dalih dalam peristiwa-peristiwa kedurhakaan dan kekerasan orang tua kepada anak-anak.
Dijadikan alasan oleh sebagian orang yang alergi dengan dogma-dogma agama untuk menyerang dan menyalahkan agama sebagai salah satu sumber terbesar terjadinya kedurhakaan (kekerasan) anak.
Sebaliknya dalil-dalil yang sama juga dijadikan tameng bagi orang-orang yang lemah iman dan akhlaq untuk melegitimasi kekerasan yang dilakukannya terhadap anak-anak.

Dalil diatas adalah benar perkataan Rasulullah Muhammad, tapi memahaminya hanya dengan tekstualnya tanpa melihat kepada konteks dan aspek filosofinya tentunya sebuah cara yang tidak tepat untuk memahami teks agama.

Hukuman dan Kekerasan
Konteks dari hadits tentang memukul anak yang tidak sholat setelah diperintah adalah sebuah hukuman untuk mendisiplinkan anak dalam rangka pendidikannya. Dalam semua buku pendidikan, kebanyakan penulis menyatakan bahwa salah satu metode pendidikan yaitu penerapan hukuman.
Samakah Hukuman dengan kekerasan Fisik?
Secara fisik mungkin kadang-kadang hukuman mempunyai persamaan dengan kekerasan, diantaranya misalnya berupa pukulan. Tetapi secara esensi, hukuman dan kekerasan adalah dua hal yang sangat jauh berbeda.

Hukuman adalah sebuah metode yang mutlak diperlukan dalam proses pendidikan dimana pasti akan terjadi kesalahan-kesalahan dan tindakan ketidak disiplinan yang dilakukan oleh peserta didik atau anak. Di sini hukuman bertujuan supaya anak belajar dari kesalahan yang telah terjadi dan tidak mengulangi kesalahan yang sama dimasa yang akan datang.

Hukuman dilakukan setelah melalui proses pendidikan yang bertahap, dan merupakan tahapan paling akhir dari proses pendidikan dan perbaikan. Dr. Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad Fiel Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) menyebutkan tentang tahap-tahan dan metode pendidikan yang baik yaitu melalui lima tahap:
1- Pendidikan dengan keteladanan
2- Pendidikan dengan adat kebiasaan
3- Pendidikan dengan nasihat
4- Pendidikan dengan perhatian
5- Pendidikan dengan hukuman

Proses pendidikan dan perbaikan bila dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan diatas, mungkin akan sangat jarang akan sampai pada tahapan kelima yaitu hukuman. Kita ambilkan contoh pendidikan untuk melatih dan menyuruh anak sholat. Dengan teladan dari kedua orang tua yang selalu sholat dan juga dengan adanya lingkungan anak (keluarga) yang juga selalu menjaga sholat, seorang anak mungkin akan dengan serta merta ingin meniru apa yang mereka lakukan, meskipun awal-awalnya hanya berupa gerakan fisik saja. Anak saya yang sekarang berusia 11 bulan, setiap kali melihat umminya (ibunya) bersiap-siap memakai mukena atau ketika mendengar seseorang mengucapkan Allahu Akbar, akan dengan serta merta dia mengankat kedua tangannya seperti gerakan orang yang bertkbir dalam sholat. Itu karena seringnya dia melihat contoh yang dilakukan oleh umminya ketika sholat.

Bila memang perlu sampai tahap hukuman, maka hukuman fisik adalah pilihan terakhir, memperbaiki kesalahan bisa dilakukan dengan cara lainnya sebelum menghukum fisik, dengan isyarat, dengan tutur kata yang lembut dan tidak mencela, dengan kecaman yang masuk akal. Suatu hari seorang dari kampong datang kepada rasulullah dengan rambut yang awut-awutan, maka beliau memberikan isyarat dengan menunjuk rambut beliau, dan orang tersebut sudah faham dengan isyarat rasul dan kembali dengan rambut yang rapi.

Dan hukuman fisik yang dilakukan yang berupa pukulan, adalah pukulan yang tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi bertujuan untuk menegur, maka pukulannya tidak boleh keras dan menyakitkan, tidak memukul muka dan anggota badan yang fital lainnya seperti kepala dada dan perut, tidak menimbulkan bekas dan diberlakukan hanya bagi anak-anak yang sudah cukup umur, dalam konteks hadits diatas yaitu berumur 10 tahun keatas.
Nabi Ayyub memberikan hukuman istrinya dengan memukulnya menggunakan siwak. Ibnu Abbas dalam mentafsirkan ayat ke 43 surat Annisa dalam Al Qur'an "…Dan pukullah mereka (istri-istri)", yaitu pukulan dengan siwak.
Siwak adalah sejenis kayu seukuran pensil, apakan memukul dengan siwak atau pensil akan menyakitkan fisik? Pasti tidak, karena memang tujuan hukuman disini bukan untuk menyakiti tetapi memberikan pelajaran.

Hukuman dan Emosi
Hukuman yang benar tidak boleh dijatuhkan ketika dalam keadaan marah dan emosi tinggi, karena hal itu akan sangat berbahaya. Dan hal inilah yang membedakan antara hukuman dan kekerasan fisik. Hukuman dilakukan dalam keadaan sadar dan penuh dengan nalar dan I'tikad baik untuk memperbaiki suatu kesalahan.
Sedangkan kekerasan fisik umumnya dilakukan karena emosi dan kemarahan. Walaupun sebabnya kadang-kadang sama yaitu kesalahan anak, tapi cara penanganannya yang berbeda. Hukuman yang dilakukan dalam keadaan marah biasanya akan berubah menjadi sebuah kekerasan fisik, karena itulah dilarang memberikan hukuman dalam keadaan marah sebelum reda kemarahannya, dengan duduk, berdiri berwudhu dan lainnya.

Bentuk-bentuk kedurhakaan Orang Tua Pada anak
Kita sering mendengar bahwa perkataan "ahh" (dalam Al Qur'an disebut dengan uff) yang bermaksud untuk penolakan atau pembangkangan bisa menyebabkan seorang anak disebut sebagai anak durhaka.
Demikian pula bila kata-kata bisa menjadikan orang tua menjadi seorang yang telah durhaka kepada anak dan telah melakukan kekerasan yang disebut dngan kekerasan verbal (verbal abuse), kata-kata yang keras seperti: "dasar bodoh", "anak cerewet" yang sering diucapkan dengan keras dan dalam keadaan emosi mungkin akan mempunyai pengaruh lebih buruk dari pukulan yang masuk akal. Apalagi bentuk-bentuk ucapan yang lebih keras dengan menyebut nama-nama penghuni kebun margasatwa untuk memanggil anak, kata-kata kotor bisa menjadikan seseorang durhaka kepada anaknya.

Bentuk kedurhakaan lainnya yaitu berupa kekerasan psikis dan emosi (emotional abuse) yang beruta penelantaran dan pengabaian hak-hak emosional anak, tidak memenuhi kebutuhan kasih saying anak, pelukan dan ciuman dan hak mendapatkan perlindungan, bisa menyebabkan orang tua durhaka.
Suatu hari Rasulullah mencium dengan kasih cucu beliau Hasan bin Ali, pada saat itu ada seorang bernama Aqra bin Habis yang melihat kemudian mengomentari perbuatan Rasulullah itu dan berkata: "“Sesungguhnya saya mempunyai sepuluh orang anak, tetapi sama sekali tidak seorang pun di antara mereka yang pernah saya cium”.
Dijawab oleh Rasulullah: “Aku tidak dapat menjamin kamu bila Allah mencabut rasa belas-kasihan dari hatimu. Hai Habis, siapa yang tidak mempunyai rasa belas kasihan, dia tidak akan mendapat rahmat”.

Kemudian bentuk kedurhakaan lainnya yaitu berupa kekerasan fisik (Physical abuse), bisa berupa pukulan, tonjukan, jambakan jeweran dan lainnya.

Dan yang akhir-akhir ini sering juga terjadi yaitu Kedurhakaan Seksual (Seksual Abuse), rabaan, colekan, eksploitasi, bahkan perkosaan… naudzubillah…

Dalam buku 20 perilaku durhaka orangtua terhadap anak, pengarangnya Drs.M.Thalib menyebutkan 20 hal yang bisa menyebabkan seorang disebut durhaka kepada anak, yaitu:
1. Salah memilih calon ibu atau ayah.
2. Menafkahi anak dari hasil yang haram.
3. Mengajak anak kepada kemusyrikan.
4. Menghalangi anak beragama dengan baik dan benar.
5. Menelantarkan nafkah anak.
6. Menelantarkan pendidikan anak agama anak.
7. Menempatkan anak di lingkungan yang rusak.
8. Memaksa anak menikah dengan orang yang tidak disukainya.
9. Merintangi anak menikah.
10. Memperlakukan anak tidak adil.
11. Membiasakan hal-hal buruk terhadap anak.
12. Menyerahkan asuhan anak kepada non muslim.
13. Membebani anak dengan tugas-tugas di luar kemampuannya.
14. Menghilangkan hak waris anak.
15. Melahirkan anak di luar nikah.
16. Membiasakan anak boros.
17. Menciptkan suasana maksiat di lingkungan rumah
18. Memberi nama yang buruk kepada anak.
19. Tidak mengakui sebagai anaknya.
20. Membunuh anak.

Seruan
Pada akhir artikel ini saya menyeru kepa saudara-saudara, terutama para orang tua, marilah kita didik anak-anak kita dengan cinta dan kasih saying, karena mereka adalah buah hati kita dan titipan amanat dari Allah yang akan kita pertanggungjawabkan nanti…
Wallahu A'lamu Bisshowab





sumber:
http://azfaazfa.blogspot.com/2007/11/stop-durhakan-pada-anak.html#comment-form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar