Bismillah Ya Rahman Ya Rahim...
Ramai orang yang mengaku mencintai orang lain – isteri atau suami atau siapa saja, tetapi hakikat sebenarnya dia bukan mencintai orang itu… tetapi dia mencintai dirinya sendiri.
Sadarlah bahwa cinta dengan memiliki itu suatu yang berbeda. Jangan salah tentang hakikat cinta. Ramai pasangan suami isteri ‘terkorban’ cintanya karena gagal membedakan antara mencintai dengan ‘memiliki’.
Bila kita mencintai seseorang, kita berfikir tentang dirinya, bukan diri kita. Kepentingan sendiri tidak dihiraukan, bahagia kekasih itu itulah yang diutamakan. Ungkapan ini menggambarkan cinta yang sejati. Sebaliknya, jika kepentingan sendiri lebih diutamakan, perasaan, jiwa dan rasa kekasih dibiarkan, maka itu bukan cinta. Itu memperalatkan cinta.
Mencintai itu membebaskan, manakala memiliki itu cenderung mengikat, membelenggu dan mengawal. Berapa ramai isteri yang ‘mengawal’ suaminya atas nama cinta. Sehingga suami hilang kebebasan dan kemerdekaan dalam hidup seharian. “kalau abang tak balik lagi, saya akan…” Bolehkah itu dikatakan ‘ayat-ayat’ cinta? Maaf, pertanyaan itu lebih mirip kata-kata seorang majikan kepada pekerja, bukan antara isteri dengan suami tercinta.
Suami pun sama. Segala gerak-gerik istri dipantau penuh curiga. Setapak isteri melangkah, menggelak cemburu di dalam dada. Prasangkanya sudah terlalu jauh.. Salah sedikit, marah. Bila ditanya, mengapa? Si suami tidak malu mengaku, “karena saya terlalu mencintainya!” Padahal, jika diamati dan diteliti, itu semua karena mencintai diri sendiri. Kasihan si isteri menjadi sandera cinta. Dikepung oleh penjara rumahtangganya, dicerca oleh kata-kata suaminya. Jika sudah begitu ada benarnya kata bijak yang mengatakan bahwa “terkadang perkawinan itu menjadi pusara percintaan”
“Queen control” atau “King Control” adalah produk cinta yang palsu. Cinta yang diselaputi kepentingan diri. Kulitnya cinta tetapi isinya keegoaan diri. Seperti seorang pemilik burung tekukur – diberi makan, diberi minum, dibersihkan dan dimandikan, dilatih berlagu – tetapi dikurung dalam sangkar. “Ini burung kesayanganku,” akunya di hadapan tetamu. “Suaranya sungguh merdu,” puji tidak henti-henti. Sekalipun tekukur dikurung dalam sangkar emas. Sangkar tetap untuk mengurung, sekalipun sangkar emas. Kilauan sangkar emas, suara berlagu merdu, bukanlah kebahagiaan tekukur yang terkurung tetapi buat tuannya yang mengurung.
Sama halnya dengan cinta terkadang seperti itu. Kita ingin memberi kebaikan yang diingini oleh kita bukan yang diingini oleh pasangan kita. Apa gunanya sangkar emas, makan-minum yang mewah, kemampuan berlagu, pada tekukur yang dibelenggu? Kalaulah terkukur boleh bersuara, dia akan berkata, “jika benar kau sayang aku wahai tuanku, bebaskanlah aku.” Walaupun tertukur tidak mungkin bersuara, tetapi tuannya pasti tahu, bahwa keinginan atau naluri setiap burung adalah kebebasan. Tidak sukar memahami dan merasai jika kita benar-benar mencintai. Bukankah kekasih sejati itu selalu bertindak memahami dahulu kemudian baru dipahami?
Betapa ramai istri yang dikurung dalam villa atau istana, yang dilimpahi intan dan permata, diberi segala dan semua… tetapi dinafikan suara hatinya. Betapa ramai pula suami yang dijaga makan-minumnya, disiapkan pakaian dan segala keperluan lahirnya, tetapi sering disakiti dengan kata perintah, rajuk dan amuk oleh istrinya. Pelik, ketika suami belum pulang, segalanya dirisaukan. Sudah makankah dia? Kenapa terlambat, mecetkah motornya? Bagaimana dia di perantauan? Sakitnya? Letihnya? Semuanya seakan menghantui perasaan istri. Tetapi bila suami yang dibimbangi itu pulang, belum sampai melangkah pintu, sudah dihambur dengan wajah masam, sudah dileteri dengan kata-kata yang berbisa.
Sudah lama tidak menengok ke rumah mertua. Suami tahu hakikat itu. Boleh jadi sudah berbulan-bulan, boleh jadi telah bertahun-tahun. Istri memendam rasa. Ingin mengungkapkannya takut dibentak. Boleh jadi akan ‘diboikot’ dengan diam memanjang hingga ‘mode silent’ begitu menyiksakan. Keinginan istri menjenguk ibu di kampung di tahannya. Tetapi konon karena masih cinta, lalu diajaklah isteri ‘shopping’ komplek atau singgah di resto termahal, dibelikan perhiasan agar keinginannya pulang ke kampung halaman dilupakan. Jangan, jangan begitu, dahaga rindu bukan emas dan perak galang gantinya.
Belajarlah membebaskan, bukan mengikat sewaktu bercinta. Khususnya, bagi pasangan yang telah lama berumah-tangga, prinsip ini mesti dipahami sebaik-baiknya. Apabila usia perkawinan semakin meningkat, tidak ada lagi cinta berapi berasaskan keinginan biologi dan fisiologi. Yang mampu bertahan ialah rasa cinta yang sebenar – cinta yang melepaskan bukan mengikat. Ketika warna sebenarnya (‘true colours’) pasangan kita semakin pudar hari demi hari, mampukah kita bertahan lagi? Bolehkah kita bersabar atas kelemahan dan kekurangan pasangan yang ketika itu sudah masuk belasan bahkan puluhan tahun kita hadapi?
Sudikah kita memberi peluang kedua, ketiga bahkan tidak kira kali keberapun untuknya memperbaiki diri? Jika sudi, benar kita masih cinta. Namun jika jemu, jika enggan, jika bosan itu pertanda kurangnya rasa cinta. Ingatlah, jika pasangan kita ada karenanya, apa kurangnya kita? Jangan kesabaran kita saja yang diperkirakan, kesabaran pasangan kita terhadap kita juga wajar dipertimbangkan. Ingat selalu, suami adalah cermin sang isteri dan begitulah sebaliknya. Hubungan kesalingan ini menunjukkan bawa bagaimana perangai dan akhlak kita maka begitulah perangai dan akhlak pasangan yang ditakdirkan untuk bersama kita.
Jadi, jangan cepat menyalahkan atau mengalah, sebaliknya banyakkan bermuhasabah diri. Sadarlah bahwa kelemahan ataupun keburukan yang ada pada pasangan kita itu sebenarnya, bukan saja tidak diingini oleh kita tetapi juga oleh mereka. Mereka pun pada hakikatnya sedang berhempas pulas untuk mengatasi kelemahan atau keburukan itu. Kalau begitu, adalah lebih baik sekiranya kita membantu daripada ‘membuntu’ mereka.
Malangnya, hal diatas jarang berlaku. Kebanyakan orang tidak sabar dengan pasangan mereka. Keceriaan dan ketenangan hidup terasa semakin terkikis oleh tabiat buruk pasangan. “Abi, saya tidak bahagia kalau Abi terus-terusan marah begini.” terkadang perkataan demikian seringkali diperdengarkan. Tetapi seringkali juga dipendam. Kata-kata itu atau yang seumpama dengannya membayangkan penuturnya hilang perhatian dengan pasangannya. Kata orang, habis manis sepah dibuang. Berpikirlah mengapa suami anda muram, mengapa istri anda masam… Mungkin akibat beban kerjanya dikantor. Mungkin karena anak-anak di rumah. Atau yang lebih parah lagi, mungkin kerana tingkah anda sendiri. MasyaAllah...
Kita akan membuang barang yang kita miliki sekiranya barang itu hilang fungsinya. Kalau sesuatu itu tidak membawa manfaat kepada kita, apa guna lagi untuk menyimpannya? Begitulah cinta kalau tujuannya hanya untuk memiliki. Tetapi kalau cinta itu bukan untuk memiliki, kita akan terus cinta tidak peduli keadaan pasangan yang kita cintai. Barang yang hilang fungsi bukan untuk dibuang, tetapi untuk diperbaiki. Begitulah sikap sebenarnya seorang istri atau suami apabila berhadapan dengan keburukan atau kelemahan pasangannya. Demi cinta, dalam diam-diam suara hati mereka membisikkan, kalau aku tidak dapat apa yang aku sukai, aku mesti belajar menyukai apa yang aku dapat.
Betapa hebatnya sebuah kisah cinta seorang ahli sufi terhadap isterinya. Kisah yang menyebabkan saya termenung dan merenung begitu lama. Pada hari kematian istrinya barulah masyarakat tahu bahwa dia sebenarnya bukanlah seorang yang cacat… Dia hanya ‘berlakon’ cacat hanya untuk menjaga maruah dan harga diri istrinya yang benar-benar cacat. Berapa lama dia berlakon begitu? Puluhan tahun! Subhanallah. Itulah cinta yang sebenarnya. Cinta yang melepaskan belenggu psikologi, penjara jiwa dan rantai pikiran yang boleh menghilangkan kebahagiaan daripada diri pasangannya.
Tidak ada cinta seikhlas cinta Allah. Allah yang Maha Kaya itu tidak memerlukan sedebupun manfaat daripada hamba-Nya. Dia Al Qawwi, Dia Al Ghani… Tuhan maha Perkasa dan Tuhan maha Kaya, Tuhan tidak memerlukan kita sebaliknya kita yang memerlukan-Nya. Justeru, cinta-Nya benar-benar suci kerana hakikatnya Allah tidak inginkan balasan ataupun ganjaran.
Ya, Allah memang memiliki, tetapi DIA bukan membelenggu. Cinta-Nya membebaskan. Untuk bebas dariapada memperalatkan dan diperalatkan oleh cinta, jadikanlah cinta Allah sebagai asas dan di atas segala cinta. Jangan jadi sandera cinta, walaupun kepada isteri atau suami kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar