" In The Name Of ALLaH "
Hati terpasung oleh kata-kata yang pernah diucapkan oleh Sayidina Ali:
“Manusia semua tidur, bila mati baru mereka terjaga.”
Kata-kata itu menusuk ke lubuk hati. Merobek-robek sisa-sisa kegembiraan yang masih tersisa. Apakah aku masih tidur? Ah, tidur yang sangat panjang kalau begitu.
Teringat pula kata Imam Ghazali:
“Ada manusia yang sedang ketawa ria, sedangkan kain kafannya sedang dirobek-robekan.”
Sudah lebih separuh abad aku bernaung di bawah langit-Mu ya Allah. Belumpun aku terasa menjadi hamba-Mu yang sebenar. Masih berpura-pura. Alangkah alpa dan berdosanya aku. Apakah sisa umurku masih panjang ? Atau hanya seketika lagi.
Aku tidak pasti. Ketika ramai teman mengucapkan selamat panjangg umur, hakikatnya umurku semakin pendek. Bukankah tarikh mati setiap insan sudah ditetapkan? Dan hari ini, esok dan lusa aku menapak lagi… semakin hampir pada tarikh kematian yang dijanjikan. Duhai, tertipunya aku ketika menerima ucapan selamat hari jadi… selamat pulakah hari matiku?
Aku belum bersedia untuk bertemu-Mu ya Allah. Walaupun aku tahu, siapalah aku untuk menyatakan tidak dan tunggu.
Ya, Allah… segala kekuatan hanya pada-Mu jua. Kau yang Maha tahu apa yang terbaik untukku. Aku merayu pada-Mu ya Allah, pada tarikh ini. Untuk mengemis keampunan-Mu dengan tangan yang berdosa, dengan hati yang tercela. Jika tidak mengenangkan yang Engkau Maha Pengampun, aku tidak akan datang ya Allah. Rasa malu dan hina untuk meminta. Apakah aku diterima ?
Ya, Allah di hari ini, jernikanlah pikiranku. Mohon dilunakan nafsu liarku. Tenangkanlah gejolak hati ini. Wahai yang Maha Adil, bawalah aku untuk menumpang sekalipun di pinggiran rahmatMu. Walau sering aku lupa, tetapi aku sentiasa mendamba. Entah mengapa gelombang rasa ini sering datang dan pergi. Gelombang mujahadah ini tidak pernah tenang.
Jangankan mutmainnah, malah ammarah pula yang sering melanda. Terkadang aku sendiri bertanya, akukah aku ini ?
Ya, Allah, jauhkan aku dari topeng munafik yang menipu-daya ini.
Aku bukan Hanzalah yang mencurigai dirinya munafik walau taqwanya melimpah. Bukan juga Umar Al Khattab, yang tega memukul diri walaupun sedikit berdosa. Pun bukan seumpama Rabiahtul Adawiyah yang sentiasa berkata:
“Sesungguhnya istighfarku memerlukan satu istighfar lagi.”
Aku juga tidak mampu menangis karena dosa… Hatiku keras amat. Kucoba menangis dengan merasa kesal. Tapi gagal. Mengapa aku tidak bisa menangis karena gagal menangis.
Ya Allah, kerasnya hatiku ini. Mohon dilembutkan. Atau mohon aku diberi ‘hati’ yang lain. Hati yang ada ini bagaikan sudah mati ya Allah.
Aku telah mengembara jauh. Namun kolam hatiku kian keruh. Beban tambah berat, diriku kian penat. Urusan kian payah. Jiwa semakin gundah. Mudah-mudahan di hari lahirku ini aku akan ‘dilahirkan’ semula. Lahir sebagai insan yang sentiasa mengingatMu. Yang mampu hidup antara kekangan takut dan lingkungan harap. Takut, kalau-kalau dimurkai. Harap-harap, minta-minta diampuni.
Buat sahabat, teman dan kenalan… terimakasih atas ingatan kalian. Pada yang jauh, maafkan aku karena gagal mendekat. Pada yang hampir, maaf karena tidak pandai membelai.
Akhirnya terimalah untaian kata - kata ini, (mungkin inipun masih dari terowong jiwaku yang gelap gelita.)…
“Marilah kita hidup…
seperti orang yang menanti mati
karena ingat mati itu…
akan mengecilkan segala derita
akan mencairkan segala alpa
kiranya inilah detik terakhir
marilah kita mulai melangkah
walau yang masih tersisa hanya sedetik cuma…
itu lebih bermakna!”
http://najcahayacintaagung.blogspot.com/2010/04/catatan-hari-jadi-yang-mengingatkan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar